Sabtu, 10 Maret 2012

SESAR LEMBANG

Dengan terbentangnya robekan pada kerak bumi yang memanjang sedikitnya 22 km dari Cisarua di barat, melewati kota padat Lembang, hingga lereng G. Palasari di timur, para ahli Geologi mengkhawatirkan gempa bumi berkekuatan besar dapat mengguncang Bandung, dipicu aktivitas tektonik dan robekan itu. Gempa bumi besar itu (earthquake) dapat mengguncang hati (heartquake) para penghuni jantungnya Cekungan Bandung.
Bandung Terancam
Dalam suatu ceramah umum untuk masyarakat tentang Sesar Lembang yang diselenggarakan Program S2 Gempa Bumi dan Tektonik Aktif (GREAT: Graduate Research on Earthquake and Active Tectonik), Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB, tanggal 25 Maret 2011, peserta tidak disangka-sangka berdesakan memenuhi ruangan. Ada dugaan hal itu dipicu oleh gempa besar yang dua minggu sebelumnya melanda Jepang bagian timur yang diikuti terjangan tsunami dahsyat yang memorak-porandakan pantai-pantai di Perfektorat Miyagi tersebut. Dugaan lain adalah karena mungkin telah ada kesadaran masyarakat Bandung umumnya dan Lembang khususnya akan adanya potensi bencana alam besar karena keberadaan Sesar Lembang.
Kekhawatiran tentang aktifnya kembali Sesar Lembang pada tahun 2006 telah diliput harian Pikiran Rakyat. Liputan itu adalah hasil diskusi di aula redaksi Pikiran Rakyat tentang ancaman gempabumi terhadap Bandung setelah gempabumi yang melanda Yogyakarta 2006. Kini semakin banyak warga Kota Bandung dan sekitarnya yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kemungkinan Sesar Lembang aktif kembali dan menimbulkan gempa bumi besar.
Antusiasme masyarakat untuk mengetahui Sesar Lembang adalah sesuatu hal yang wajar karena selama ini informasi tentang Sesar Lembang hanya diketahui oleh mereka yang terlibat dalam bidang Ilmu Kebumian saja, yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, atau Geografi. Bahkan di samping itu, ada juga para ahli Geologi yang masih meragukan keaktifan Sesar Lembang.
Apakah Sesar Lembang Aktif?
Mungkin istilah “sesar” terasa asing ditelinga. Apakah sesar itu? Sesar, yang dalam bahasa Inggeris disebut “fault” merupakan retakan di kerak Bumi yang mengalami pergeseran atau pergerakan. Secara umum dikenal tiga jenis sesar, yaitu sesar normal (normal fault), sesar naik (reverse fault), dan sesar geser mendatar (strike-slip fault). Dalam bahasa sehari-hari, sesar sering disebut juga sebagai “patahan.” Di Lembang, sesar itu membentuk retakan tektonik memanjang lebih dari 22 km. Dengan melihat morfologi yang terbentuk, jenis sesarnya adalah sesar normal. Bagian utara bergerak relatif turun, sementara bagian selatan terangkat. Kota Lembang hingga Cisarua di barat dan Maribaya hingga Cibodas/Batuloceng di timur merupakan bagian yang mengalami penurunan tersebut. Akibat dari proses tektonik ini terbentang suatu gawir (lereng lurus) yang merupakan bidang gelincir Sesar Lembang yang dapat jelas terlihat dari Lembang ke arah timur.
Jika kita berdiri di daerah Cikole, kira-kira 3 km sebelah utara Lembang, kemudian memandang ke arah selatan, akan tampaklah fenomena geologis Sesar Lembang yang sangat jelas. Dari sini kita bisa menyaksikan segmen timur Sesar Lembang yang dimulai dari kira-kira jalan Bandung – Lembang sebagai pembagi utama dengan segmen barat. Pada segmen timur, tinggi gawir yang terbentuk dan mengangkat perbukitan dapat mencapai 450 m, terlihat jelas di lereng utara G. Palasari (+1859 m). Jajaran bukit-bukit memanjang itu dimulai dari G. Lembang tempat berdirinya Observatorium Bosscha sejak 1920. Kemudian tampak pula G. Batu, suatu bukit kecil dengan lereng tampak berbatu. Ke arah timur tampak sebuah celah di antara lereng-lereng terjal. Di sanalah Ci Gulung, sebuah sungai yang berhulu dari lereng timur G. Tangkubanparahu bergabung dengan Ci Kapundung yang bersama-sama menerobos batuan keras di gawir sesar. Di ujung timur, gawir menoreh dalam di sisi utara G. Palasari. Tingginya gawir berubah ke arah barat yaitu hanya mencapai 40 m di sekitar Cihideung. Semakin ke arah barat, gawir menjadi tidak terlihat terkubur endapan gunung api muda produk letusan G. Tangkubanparahu (+2084 m).
Pertanyaan para ahli Geologi dan diikuti masyarakat yang peduli bencana adalah, “Apakah Sesar Lembang aktif?” Sejak jaman sejarah hingga sekarang memang belum ada catatan yang mendeteksi adanya gempa bumi besar yang berpusat di sepanjang Sesar Lembang. Namun demikian dengan menggunakan data empiris, suatu retakan yang telah terbentuk dengan panjang lebih dari 20 km dapat memicu gempa dengan magnitude 6,5 – 7,0 yang merusak. Satu catatan yang mungkin cukup mengkhawatirkan adalah adanya gempabumi merusak pada tahun 1910 di Padalarang, yang boleh dikatakan berada pada zona ujung barat Sesar Lembang yang bertemu dengan sesar aktif Cimandiri yang berawal dari Palabuhanratu, Sukabumi.
Di dalam Geologi, kategori sesar aktif mula-mula merujuk kepada sesar yang terbentuk pada Zaman Kuarter, yaitu rentang waktu dari sekarang hingga 2 juta tahun yang lalu. Namun akhir-akhir ini kategori keaktifan sesar dipersempit hingga Kala Holosen, hingga 10.000 tahun yang lalu. Hasil penelitian yang pernah dilakukan para peneliti Belanda Nossin, dan kawan-kawan pada 1996 menduga kemungkinan pergeseran Sesar Lembang, khususnya segmen timur, bertepatan dengan pembentukan kaldera Sunda 100.000 tahun yang lalu.
Pendapat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penelitian sangat awal yang dilakukan R.W. van Bemmelen yang kemudian dibukukan dalam “The Geology of Indonesia” yang diterbitkan tahun 1949. Namun untuk segmen barat, penelitian Nossin dan kawan-kawannya di daerah Panyairan, Cihideung, terhadap endapan gambut, menunjukkan bahwa segmen barat diperkirakan terakhir aktif sekitar 27.000 tahun yang lalu. Jika kategorinya 10.000 tahun sebagai batasan sesar aktif, informasi ini akan membuat Sesar Lembang berkategori “tidak aktif.” Sampai kemudian muncullah hasil-hasil temuan dari penelitian yang dilaksanakan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang dimotori Eko Yulianto selama 2007 – 2010.
Dampak Aktifnya Sesar Lembang
Eko Yulianto meneliti keaktifan sesar melalui apa yang disebut sebagai endapan sag-pond. Sag pond adalah genangan yang terbentuk akibat terhambatnya drainase sungai yang terjadi akibat pembentukan dinding penghalang karena pergerakan sesar. Air sungai akan tergenang dan pembentukan lumpur serta endapan gambut akan terjadi di dalamnya. Jika endapan-endapan ini terjadi berlapis-lapis di bawah tanah, dapat diperkirakan bahwa pembentukan genangan terjadi berkali-kali melalui mekanisme pergerakan sesar. Begitulah apa yang ditemukan Eko Yulianto dari hasil pengeboran endapan di sekitar Pasir Sereh, Cihideung.

interpretasi lineaments (BB dan TB, 2009, Wisata Bumi Cek Bdg, Truedee)
Dari temuannya itu, sekalipun dalam data yang masih terbatas, Eko Yulianto memperkirakan bahwa sedikitnya 1000 tahun yang lalu, Sesar Lembang pernah aktif. Ketika keaktifannya membentuk genangan luas, diperkirakan hal tersebut terbentuk oleh mekanisme pergerakan sesar yang menimbulkan gempabumi berkekuatan tinggi. Informasi ini dengan pasti menunjukkan bahwa Sesar Lembang tergolong sesar aktif sekalipun belum ada gempa besar selama masa manusia modern yang melanda kawasan ini. Tetapi lebih jauh lagi, hasil penelitian Geodesi ITB melalui pengamatan titik-titik yang diukur melalui GPS, memang telah dan sedang terjadi pergeseran di sekitar Sesar Lembang.
Sebuah cetakan citra SPOT pengambilan Juli 2006 sangat jelas menggambarkan citra udara wilayah sekitar G. Tangkubanparahu, Sesar Lembang, dan dataran Cekungan Bandung. Dari citra itu, interpretasi kelurusan-kelurusan menunjukkan kemungkinan adanya retakan-retakan yang terbentuk di permukaan bumi wilayah itu. Kelurusan paling mencolok tentu saja garis hampir berarah timur-barat, yaitu jalur struktural Sesar Lembang. Namun selain itu, banyak kelurusan dapat diinterpretasi yang umumnya juga berarah barat-timur sejajar Sesar Lembang di sekitar Perbukitan Dago (Bandung Utara), sekitar kota Lembang hingga lereng selatan jajaran G. Burangrang – G. Tangkubanparahu – G. Bukittunggul. Hasil interpretasi juga menunjukkan adanya kemenerusan Sesar Lembang ke arah Ci Meta di baratlaut Padalarang. Perkiraan lain, pertemuan Sesar Lembang dengan Sesar Cimandiri di sekitar Padalarang berupa perpotongan antara retakan-retakan itu. Apapun kaitan antara fenomena-fenomena geologis itu, kedua sesar itu mempunyai hubungan yang oleh satu dan sebab lain akan menjadikan keduanya menjadi media rambat gelombang gempa bumi.

hasil penelitian GPS (Meilano dkk, Kuliah Umum GREAT 25 Maret 2011)
Belajar dari Jepang
Gempa yang menghantam perkotaan terbukti sangat parah dan berresiko tinggi. Tokyo 1923, Kobe 1995, Yogyakarta 2006, Padang 2009, atau Haiti dan Christchurch 2010 adalah beberapa contoh kehancuran perkotaan akibat gempabumi. Lalu, Jumat 11 Maret 2011, sebuah hentakan tektonik kuat pada Lempeng Pasifik yang berinteraksi dengan Lempeng Amerika Utara di timur laut Jepang menimbulkan gempabumi berkekuatan 9,0 Mw. Tetapi dari tayangan-tayangan di televisi beberapa jam kemudian kita melihat bagaimana masyarakat Jepang begitu tenang menghadapi gempa bumi merusak ini. Para kru televisi NHK memang sedikit khawatir ketika kantor mereka berguncang hebat menggetarkan komputer dan peralatan yang ada di atas meja dan lemari. Tetapi para anggota kabinet Jepang yang sedang rapat dengan tenang meninggalkan ruangan rapat satu per satu. Tidak ada yang terlihat bersikap panik.
Beberapa menit kemudian, gempa bumi itu memicu tsunami dahsyat yang meluluhlantakan pantai-pantai di timur Jepang yang menghadap Samudera Pasifik. Kembali pemirsa televisi di seluruh dunia disuguhi tayangan fenomena alam yang mengerikan. Gelombang laut dahsyat menghantam permukiman, merubuhkan bangunan, dan menghanyutkan apa saja yang berada di pantai.
Ada yang perlu dicontoh dari siaran televisi Jepang. Sekalipun korban hingga dua minggu setelah kejadian dilaporkan menewaskan 12.000 jiwa, tetapi tidak ada satu tayangan pun di layar televisi (juga pada foto-foto di media cetak) yang memperlihatkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Tayangan yang ada adalah bagaimana rakyat Jepang begitu tabah dan kuat menghadapi musibah itu, dan semangat bergotong-royong serta tolong-menolong di antara mereka yang hidup justru menjadi suguhan utama di layar televisi. Kita pun menyaksikan bahwa dengan gempa bumi dan tsunami yang begitu dahsyat dan melanda perkotaan yang padat penduduk, namun korban jiwa dapat dikatakan “lebih sedikit.” Tidak dapat dibayangkan apabila kejadian gempa bumi dan tsunami itu melanda perkotaan di sebuah negeri yang masyarakatnya kurang memiliki budaya dan perilaku siap menghadapi gempa.
Perlu Mitigasi
Kekhawatiran terpicunya gempabumi besar karena keberadaan Sesar Lembang sudah mulai diperhitungkan. Selain sebagai media rambat gelombang gempabumi dari sesar-sesar aktif lainnya di Jawa Barat, Sesar Lembang dapat juga menjadi sumber gempabumi itu sendiri. Untuk itulah peta-peta kerawanan bencana gempabumi ke arah Kota Bandung yang berpenduduk padat mulai dibuat. Di antaranya peta percepatan gempabumi yang menunjukkan daerah rawan bencana selain di sepanjang jalur sesar, juga merambat ke arah selatan Bandung, pada daerah-daerah bekas endapan danau yang bertanah fondasi kurang mantap. Peta-peta ini sudah cukup berharga untuk membuat kita waspada, karena gempa bumi sulit diprediksi! Ketika kita sulit menentukan kapan datangnya gempa bumi, maka usaha terbaik adalah bagaimana kita mempersiapkan diri jika gempa itu benar-benar datang. Itulah usaha mitigasi bencana, yaitu usaha untuk meminimalkan resiko atau akibat dari bencana.
Mitigasi terbagi ke dalam dua jenis, yaitu secara struktural berupa penataan ruang atau kode bangunan, dan secara non-struktural berupa pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat bagaimana selamat dari bencana. Saran-saran arsitek perlu diperhatikan dalam membangun bangunan di kawasan rawan bencana akibat gempabumi. Di antaranya adalah tiang yang kuat, struktur yang sederhana, bahan yang ringan, dan lokasi yang aman (misalnya tidak di tebing atau pada jalur sesar aktif). Begitulah mitigasi struktural yang mencakup syarat bangunan dan tata perwilayahan ruangnya.
Adapun mitigasi non-struktural adalah kiat-kiat bagaimana selamat dari bencana gempa. Kiat-kiat Jepang atau Chile perlu dipertimbangkan. Setelah bangunan kuat, belum tentu selamat dari musibah. Di dalam rumah yang digoncang-goncang, isinya akan seperti dikocok-kocok. Berlindung melindungi kepala adalah tanggap darurat yang pertama-tama perlu dilakukan.
Mengikuti cara Jepang, beginilah selamat dari gempa bumi, dengan asumsi kode bangunan telah sesuai teraplikasikan di daerah rawan gempabumi:
  1. Segera matikan sumber api
  2. Segera berlindung di bawah bentukan/furnitur yang kuat, misalnya di bawah meja yang kokoh. Jika tidak ada, segera berbaring dengan melindungi kepala sejajar bentukan kokoh, misalnya tempat tidur atau rak pendek.  Ketika atap atau lemari rubuh, diharapkan terbentuk ruang segitiga tempat kita berbaring.
  3. Tidak terburu-buru keluar rumah karena di luar rumah ancaman dijatuhi berbagai benda akan lebih dahsyat. Lift atau tangga adalah bagian bangunan yang rawan runtuh.
  4. Siapkan tas berisi peralatan P3K, air dalam botol, makanan ringan tahan lama, peluit, radio kecil, dll. dan segera sambar begitu gempa semakin kuat dan bersembunyi di kolong meja kokoh. Dalam gempa yang dahsyat, kemanapun bahaya akan mengancam jiwa. Pengalaman Jerpang, berlindung di kolong meja banyak menyelamatkan nyawa. Ketika kemudian bangunan ambruk, jiwa yang selamat di kolong meja tinggal menunggu pertolongan. Itulah gunanya tas yang perlu disambar ikut berlindung.
  5. Jika berada di luar rumah, merapatlah pada struktur bangunan yang dinilai kokoh (bukan pagar tembok), keluar dari kendaraan dan berbaring sejajar kendaraan, dan hindari tebing (baik di bawah atau di atas kita).
  6. Harus ditentukan tempat berkumpul yang pasti (assembly point) supaya koordinasi dan pencarian warga lebih terkontrol. 
Namun apakah cara-cara itu sesuai untuk Indonesia? Apakah berlari keluar rumah begitu guncangan awal terjadi lebih cocok untuk budaya Indonesia? Itulah yang harus diuji berkali-kali melalui latihan dan simulasi. Jangan sampai kita terlena karena lama sekali tidak diuji oleh alam. Kita harus selalu siap siaga!
Alam telah begitu ramah kepada kita, namun sekali-kali datang memberi peringatan. Itu bagian dari sistem alam sendiri agar kita selalu cermat membaca alam, memahami, dan menghormatinya. Gempa bumi earthquake akan selalu menjadi heartquake yang mengguncang hati. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan persisnya waktu terjadinya gempa bumi, cara terbaik untuk meredam guncangan hati tiada lain kecuali dengan membangun kesiapan dan perilaku yang waspada terhadap “serangan” gempa bumi.

sumber : Budi Brahmantyo, dosen matakuliah Geologi Lingkungan dan Geologi Cekungan Bandung di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB)