Dengan terbentangnya robekan pada kerak bumi yang memanjang
sedikitnya 22 km dari Cisarua di barat, melewati kota padat Lembang,
hingga lereng G. Palasari di timur, para ahli Geologi mengkhawatirkan
gempa bumi berkekuatan besar dapat mengguncang Bandung, dipicu
aktivitas tektonik dan robekan itu. Gempa bumi besar itu (earthquake) dapat mengguncang hati (heartquake) para penghuni jantungnya Cekungan Bandung.
Bandung Terancam
Dalam suatu ceramah umum untuk masyarakat tentang Sesar Lembang yang
diselenggarakan Program S2 Gempa Bumi dan Tektonik Aktif (GREAT:
Graduate Research on Earthquake and Active Tectonik), Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, ITB, tanggal 25 Maret 2011, peserta tidak
disangka-sangka berdesakan memenuhi ruangan. Ada dugaan hal itu dipicu
oleh gempa besar yang dua minggu sebelumnya melanda Jepang bagian
timur yang diikuti terjangan tsunami dahsyat yang memorak-porandakan
pantai-pantai di Perfektorat Miyagi tersebut. Dugaan lain adalah karena
mungkin telah ada kesadaran masyarakat Bandung umumnya dan Lembang
khususnya akan adanya potensi bencana alam besar karena keberadaan
Sesar Lembang.
Kekhawatiran tentang aktifnya kembali Sesar Lembang pada tahun 2006
telah diliput harian Pikiran Rakyat. Liputan itu adalah hasil diskusi
di aula redaksi Pikiran Rakyat tentang ancaman gempabumi terhadap
Bandung setelah gempabumi yang melanda Yogyakarta 2006. Kini semakin
banyak warga Kota Bandung dan sekitarnya yang ingin mengetahui lebih
jauh tentang kemungkinan Sesar Lembang aktif kembali dan menimbulkan
gempa bumi besar.
Antusiasme masyarakat untuk mengetahui Sesar Lembang adalah sesuatu
hal yang wajar karena selama ini informasi tentang Sesar Lembang hanya
diketahui oleh mereka yang terlibat dalam bidang Ilmu Kebumian saja,
yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, atau Geografi. Bahkan di samping
itu, ada juga para ahli Geologi yang masih meragukan keaktifan Sesar
Lembang.
Apakah Sesar Lembang Aktif?
Mungkin istilah “sesar” terasa asing ditelinga. Apakah sesar itu?
Sesar, yang dalam bahasa Inggeris disebut “fault” merupakan retakan di
kerak Bumi yang mengalami pergeseran atau pergerakan. Secara umum
dikenal tiga jenis sesar, yaitu sesar normal (normal fault), sesar naik (reverse fault), dan sesar geser mendatar (strike-slip fault).
Dalam bahasa sehari-hari, sesar sering disebut juga sebagai
“patahan.” Di Lembang, sesar itu membentuk retakan tektonik memanjang
lebih dari 22 km. Dengan melihat morfologi yang terbentuk, jenis
sesarnya adalah sesar normal. Bagian utara bergerak relatif turun,
sementara bagian selatan terangkat. Kota Lembang hingga Cisarua di
barat dan Maribaya hingga Cibodas/Batuloceng di timur merupakan bagian
yang mengalami penurunan tersebut. Akibat dari proses tektonik ini
terbentang suatu gawir (lereng lurus) yang merupakan bidang gelincir
Sesar Lembang yang dapat jelas terlihat dari Lembang ke arah timur.
Jika kita berdiri di daerah Cikole, kira-kira 3 km sebelah utara
Lembang, kemudian memandang ke arah selatan, akan tampaklah fenomena
geologis Sesar Lembang yang sangat jelas. Dari sini kita bisa
menyaksikan segmen timur Sesar Lembang yang dimulai dari kira-kira
jalan Bandung – Lembang sebagai pembagi utama dengan segmen barat.
Pada segmen timur, tinggi gawir yang terbentuk dan mengangkat
perbukitan dapat mencapai 450 m, terlihat jelas di lereng utara G.
Palasari (+1859 m). Jajaran bukit-bukit memanjang itu dimulai dari G.
Lembang tempat berdirinya Observatorium Bosscha sejak 1920. Kemudian
tampak pula G. Batu, suatu bukit kecil dengan lereng tampak berbatu.
Ke arah timur tampak sebuah celah di antara lereng-lereng terjal. Di
sanalah Ci Gulung, sebuah sungai yang berhulu dari lereng timur G.
Tangkubanparahu bergabung dengan Ci Kapundung yang bersama-sama
menerobos batuan keras di gawir sesar. Di ujung timur, gawir menoreh
dalam di sisi utara G. Palasari. Tingginya gawir berubah ke arah barat
yaitu hanya mencapai 40 m di sekitar Cihideung. Semakin ke arah
barat, gawir menjadi tidak terlihat terkubur endapan gunung api muda
produk letusan G. Tangkubanparahu (+2084 m).
Pertanyaan para ahli Geologi dan diikuti masyarakat yang peduli
bencana adalah, “Apakah Sesar Lembang aktif?” Sejak jaman sejarah
hingga sekarang memang belum ada catatan yang mendeteksi adanya gempa
bumi besar yang berpusat di sepanjang Sesar Lembang. Namun demikian
dengan menggunakan data empiris, suatu retakan yang telah terbentuk
dengan panjang lebih dari 20 km dapat memicu gempa dengan magnitude
6,5 – 7,0 yang merusak. Satu catatan yang mungkin cukup
mengkhawatirkan adalah adanya gempabumi merusak pada tahun 1910 di
Padalarang, yang boleh dikatakan berada pada zona ujung barat Sesar
Lembang yang bertemu dengan sesar aktif Cimandiri yang berawal dari
Palabuhanratu, Sukabumi.
Di dalam Geologi, kategori sesar aktif mula-mula merujuk kepada
sesar yang terbentuk pada Zaman Kuarter, yaitu rentang waktu dari
sekarang hingga 2 juta tahun yang lalu. Namun akhir-akhir ini kategori
keaktifan sesar dipersempit hingga Kala Holosen, hingga 10.000 tahun
yang lalu. Hasil penelitian yang pernah dilakukan para peneliti
Belanda Nossin, dan kawan-kawan pada 1996 menduga kemungkinan
pergeseran Sesar Lembang, khususnya segmen timur, bertepatan dengan
pembentukan kaldera Sunda 100.000 tahun yang lalu.
Pendapat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penelitian sangat
awal yang dilakukan R.W. van Bemmelen yang kemudian dibukukan dalam
“The Geology of Indonesia” yang diterbitkan tahun 1949. Namun untuk
segmen barat, penelitian Nossin dan kawan-kawannya di daerah
Panyairan, Cihideung, terhadap endapan gambut, menunjukkan bahwa
segmen barat diperkirakan terakhir aktif sekitar 27.000 tahun yang
lalu. Jika kategorinya 10.000 tahun sebagai batasan sesar aktif,
informasi ini akan membuat Sesar Lembang berkategori “tidak aktif.”
Sampai kemudian muncullah hasil-hasil temuan dari penelitian yang
dilaksanakan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang dimotori Eko
Yulianto selama 2007 – 2010.
Dampak Aktifnya Sesar Lembang
Eko Yulianto meneliti keaktifan sesar melalui apa yang disebut sebagai endapan sag-pond. Sag pond
adalah genangan yang terbentuk akibat terhambatnya drainase sungai yang
terjadi akibat pembentukan dinding penghalang karena pergerakan
sesar. Air sungai akan tergenang dan pembentukan lumpur serta endapan
gambut akan terjadi di dalamnya. Jika endapan-endapan ini terjadi
berlapis-lapis di bawah tanah, dapat diperkirakan bahwa pembentukan
genangan terjadi berkali-kali melalui mekanisme pergerakan sesar.
Begitulah apa yang ditemukan Eko Yulianto dari hasil pengeboran endapan
di sekitar Pasir Sereh, Cihideung.
Dari temuannya itu, sekalipun dalam data yang masih terbatas, Eko
Yulianto memperkirakan bahwa sedikitnya 1000 tahun yang lalu, Sesar
Lembang pernah aktif. Ketika keaktifannya membentuk genangan luas,
diperkirakan hal tersebut terbentuk oleh mekanisme pergerakan sesar yang
menimbulkan gempabumi berkekuatan tinggi. Informasi ini dengan pasti
menunjukkan bahwa Sesar Lembang tergolong sesar aktif sekalipun
belum ada gempa besar selama masa manusia modern yang melanda kawasan
ini. Tetapi lebih jauh lagi, hasil penelitian Geodesi ITB melalui
pengamatan titik-titik yang diukur melalui GPS, memang telah dan
sedang terjadi pergeseran di sekitar Sesar Lembang.
Sebuah cetakan citra SPOT pengambilan Juli 2006 sangat jelas
menggambarkan citra udara wilayah sekitar G. Tangkubanparahu, Sesar
Lembang, dan dataran Cekungan Bandung. Dari citra itu, interpretasi
kelurusan-kelurusan menunjukkan kemungkinan adanya retakan-retakan yang
terbentuk di permukaan bumi wilayah itu. Kelurusan paling mencolok
tentu saja garis hampir berarah timur-barat, yaitu jalur struktural
Sesar Lembang. Namun selain itu, banyak kelurusan dapat diinterpretasi
yang umumnya juga berarah barat-timur sejajar Sesar Lembang di
sekitar Perbukitan Dago (Bandung Utara), sekitar kota Lembang hingga
lereng selatan jajaran G. Burangrang – G. Tangkubanparahu – G.
Bukittunggul. Hasil interpretasi juga menunjukkan adanya kemenerusan
Sesar Lembang ke arah Ci Meta di baratlaut Padalarang. Perkiraan
lain, pertemuan Sesar Lembang dengan Sesar Cimandiri di sekitar
Padalarang berupa perpotongan antara retakan-retakan itu. Apapun
kaitan antara fenomena-fenomena geologis itu, kedua sesar itu
mempunyai hubungan yang oleh satu dan sebab lain akan menjadikan
keduanya menjadi media rambat gelombang gempa bumi.
Belajar dari Jepang
Gempa yang menghantam perkotaan terbukti sangat parah dan berresiko
tinggi. Tokyo 1923, Kobe 1995, Yogyakarta 2006, Padang 2009, atau
Haiti dan Christchurch 2010 adalah beberapa contoh kehancuran
perkotaan akibat gempabumi. Lalu, Jumat 11 Maret 2011, sebuah
hentakan tektonik kuat pada Lempeng Pasifik yang berinteraksi dengan
Lempeng Amerika Utara di timur laut Jepang menimbulkan gempabumi
berkekuatan 9,0 Mw. Tetapi dari tayangan-tayangan di televisi
beberapa jam kemudian kita melihat bagaimana masyarakat Jepang
begitu tenang menghadapi gempa bumi merusak ini. Para kru televisi
NHK memang sedikit khawatir ketika kantor mereka berguncang hebat
menggetarkan komputer dan peralatan yang ada di atas meja dan
lemari. Tetapi para anggota kabinet Jepang yang sedang rapat dengan
tenang meninggalkan ruangan rapat satu per satu. Tidak ada yang
terlihat bersikap panik.
Beberapa menit kemudian, gempa bumi itu memicu tsunami dahsyat yang
meluluhlantakan pantai-pantai di timur Jepang yang menghadap
Samudera Pasifik. Kembali pemirsa televisi di seluruh dunia disuguhi
tayangan fenomena alam yang mengerikan. Gelombang laut dahsyat
menghantam permukiman, merubuhkan bangunan, dan menghanyutkan apa
saja yang berada di pantai.
Ada yang perlu dicontoh dari siaran televisi Jepang. Sekalipun
korban hingga dua minggu setelah kejadian dilaporkan menewaskan
12.000 jiwa, tetapi tidak ada satu tayangan pun di layar televisi
(juga pada foto-foto di media cetak) yang memperlihatkan mayat-mayat
yang bergelimpangan. Tayangan yang ada adalah bagaimana rakyat
Jepang begitu tabah dan kuat menghadapi musibah itu, dan semangat
bergotong-royong serta tolong-menolong di antara mereka yang hidup
justru menjadi suguhan utama di layar televisi. Kita pun menyaksikan
bahwa dengan gempa bumi dan tsunami yang begitu dahsyat dan melanda
perkotaan yang padat penduduk, namun korban jiwa dapat dikatakan
“lebih sedikit.” Tidak dapat dibayangkan apabila kejadian gempa bumi
dan tsunami itu melanda perkotaan di sebuah negeri yang
masyarakatnya kurang memiliki budaya dan perilaku siap menghadapi
gempa.
Perlu Mitigasi
Kekhawatiran terpicunya gempabumi besar karena keberadaan Sesar
Lembang sudah mulai diperhitungkan. Selain sebagai media rambat
gelombang gempabumi dari sesar-sesar aktif lainnya di Jawa Barat, Sesar
Lembang dapat juga menjadi sumber gempabumi itu sendiri. Untuk
itulah peta-peta kerawanan bencana gempabumi ke arah Kota Bandung
yang berpenduduk padat mulai dibuat. Di antaranya peta percepatan
gempabumi yang menunjukkan daerah rawan bencana selain di sepanjang
jalur sesar, juga merambat ke arah selatan Bandung, pada
daerah-daerah bekas endapan danau yang bertanah fondasi kurang
mantap. Peta-peta ini sudah cukup berharga untuk membuat kita
waspada, karena gempa bumi sulit diprediksi! Ketika kita sulit
menentukan kapan datangnya gempa bumi, maka usaha terbaik adalah
bagaimana kita mempersiapkan diri jika gempa itu benar-benar datang.
Itulah usaha mitigasi bencana, yaitu usaha untuk meminimalkan
resiko atau akibat dari bencana.
Mitigasi terbagi ke dalam dua jenis, yaitu secara struktural berupa
penataan ruang atau kode bangunan, dan secara non-struktural berupa
pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat bagaimana selamat dari
bencana. Saran-saran arsitek perlu diperhatikan dalam membangun
bangunan di kawasan rawan bencana akibat gempabumi. Di antaranya
adalah tiang yang kuat, struktur yang sederhana, bahan yang ringan,
dan lokasi yang aman (misalnya tidak di tebing atau pada jalur sesar
aktif). Begitulah mitigasi struktural yang mencakup syarat bangunan
dan tata perwilayahan ruangnya.
Adapun mitigasi non-struktural adalah kiat-kiat bagaimana selamat
dari bencana gempa. Kiat-kiat Jepang atau Chile perlu dipertimbangkan.
Setelah bangunan kuat, belum tentu selamat dari musibah. Di dalam
rumah yang digoncang-goncang, isinya akan seperti dikocok-kocok.
Berlindung melindungi kepala adalah tanggap darurat yang
pertama-tama perlu dilakukan.
Mengikuti cara Jepang, beginilah selamat dari gempa bumi, dengan
asumsi kode bangunan telah sesuai teraplikasikan di daerah rawan
gempabumi:
- Segera matikan sumber api
- Segera berlindung di bawah bentukan/furnitur yang kuat, misalnya di bawah meja yang kokoh. Jika tidak ada, segera berbaring dengan melindungi kepala sejajar bentukan kokoh, misalnya tempat tidur atau rak pendek. Ketika atap atau lemari rubuh, diharapkan terbentuk ruang segitiga tempat kita berbaring.
- Tidak terburu-buru keluar rumah karena di luar rumah ancaman dijatuhi berbagai benda akan lebih dahsyat. Lift atau tangga adalah bagian bangunan yang rawan runtuh.
- Siapkan tas berisi peralatan P3K, air dalam botol, makanan ringan tahan lama, peluit, radio kecil, dll. dan segera sambar begitu gempa semakin kuat dan bersembunyi di kolong meja kokoh. Dalam gempa yang dahsyat, kemanapun bahaya akan mengancam jiwa. Pengalaman Jerpang, berlindung di kolong meja banyak menyelamatkan nyawa. Ketika kemudian bangunan ambruk, jiwa yang selamat di kolong meja tinggal menunggu pertolongan. Itulah gunanya tas yang perlu disambar ikut berlindung.
- Jika berada di luar rumah, merapatlah pada struktur bangunan yang dinilai kokoh (bukan pagar tembok), keluar dari kendaraan dan berbaring sejajar kendaraan, dan hindari tebing (baik di bawah atau di atas kita).
- Harus ditentukan tempat berkumpul yang pasti (assembly point) supaya koordinasi dan pencarian warga lebih terkontrol.
Namun apakah cara-cara itu sesuai untuk Indonesia? Apakah berlari
keluar rumah begitu guncangan awal terjadi lebih cocok untuk budaya
Indonesia? Itulah yang harus diuji berkali-kali melalui latihan dan
simulasi. Jangan sampai kita terlena karena lama sekali tidak diuji
oleh alam. Kita harus selalu siap siaga!
Alam telah begitu ramah kepada kita, namun sekali-kali datang
memberi peringatan. Itu bagian dari sistem alam sendiri agar kita
selalu cermat membaca alam, memahami, dan menghormatinya. Gempa
bumi earthquake akan selalu menjadi heartquake yang
mengguncang hati. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan
persisnya waktu terjadinya gempa bumi, cara terbaik untuk meredam
guncangan hati tiada lain kecuali dengan membangun kesiapan dan
perilaku yang waspada terhadap “serangan” gempa bumi.
sumber : Budi Brahmantyo, dosen matakuliah Geologi Lingkungan dan Geologi Cekungan Bandung di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB)